TANPA HAK CIPTA. Anda diperbolehkan menyebarluaskan, mengutip/menyalin sebagian atau seluruh isi dari artikel ini dengan syarat Anda tidak melakukan perubahan apapun, tidak untuk tujuan komersil dan harus mencantumkan sumbernya.
Setelah sebelumnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk SMS kuis, NU1 mengeluarkan fatwa haram tentang infotainmen. Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU memutuskan untuk mengharamkan segmen infotainmen. Pro-kontra pun menyeruak.
Dewan Pers merespon positif putusan tersebut. “Penyiaran infotainmen yang menayangkan sajian utama tentang perselingkuhan tanpa dasar, gosip, gunjingan, dan promosi kumpul kebo itu jelas bertentangan dengan UU Pers dan kode etik wartawan,” kata anggota Dewan Pers, Leo Batubara.
Senada dengan Leo Batubara, Ade Armando, ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta media lebih menegakkan etika jurnalistik dalam pemberitaannya. Sayangnya, dia menilai, pihak infotainer (penyelenggara acara infotainmen) justru lebih berkiblat kepada dunia barat. Di negara-negara liberal tersebut banyak sumber dapat dijadikan bahan gosip. “Yang disampaikan ke publik itu terdapat efek, tidak saja kepada penonton, tetapi juga terhadap sumber berita itu sendiri,” katanya.
Sementara sebagian pihak menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan tersebut. Fatwa ulama-ulama NU yang mengharamkan tayangan infotainmen dinilai seorang rektor sebuah lembaga pendidikan tinggi agama di Jakarta justru tidak efektif. “Yang terpenting dalam hal ini bukanlah fatwa, tapi edukasi kepada publik,” kata pria yang dekat dengan JIL ini.
Penilaian rektor tersebut jelas telah mengesampingkan sebuah konsep pendidikan terpadu. Dalam konsep Islam larangan dan hukuman termasuk bagian dari proses pendidikan, tidak bisa dipisahkan dari himbauan dan perintah. Bagaimana bisa mencetak generasi yang berkualitas, jika anak dididik akhlak 10 jam sehari sementara dimentahkan kembali oleh acara sampah dalam waktu 1 jam. Bukankah hujan sehari mampu menghapus panas setahun? Atau memang ada konspirasi barat dan putra didiknya untuk menghancurkan generasi muda Indonesia?!
Kontroversi Tak Mesti Ditoleransi
Penilaian terhadap tayangan infotainmen mungkin menimbulkan kontroversi. Namun perlu diingat menyikapi perbedaan pendapat tersebut bukan seperti perbedaan (ikhtilaf tanawu’) yang terjadi di kalangan ulama. Ulama yang menyandarkan pada pemahaman para sahabat tidaklah didasarkan hanya pada kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Tidak seperti ungkapan sebagian orang yang tidak terdidik agamanya. “Nyatanya, kalau dilihat dari polling acara yang banyak ditonton itu infotainmen, jadi jangan membatasi kesenangan rakyat,” ungkap sebagian orang.
Bagi orang yang tidak mengerti agama, dalam menentukan boleh-tidaknya suatu hal hanya berdasar pada nilai kepentingan. Apa yang disenangi rakyat berarti boleh. Kalau masyarakat hobinya melakukan perzinaan?! Wal’iyyadzubillah. Motivasi kepentingan memang sering menghilangkan akal sehat.
Termasuk dalam menilai tayangan infotainmen. Infotainmen tak lebih sekadar kemasan indah untuk membungkus hobi gosip. Tidak salah kiranya jika nama yang lebih pas adalahghibahtainmen. Faktanya hampir 100% muatan acara infotainmen tak lebih dari pengungkapan isu miring. Bahkan sudah masuk dalam kategori buhtan dan fitnah, karena sebagian bermuatan berita isapan jempol.
Pelajaran apa yang bisa didapat dari berita sampah semacam itu? Pendidikan macam apa yang dihasilkan dari ungkapan-ungkapan kosong penuh fitnah semacam itu?! Semuanya tak lebih dari sekadar pembodohan terhadap masyarakat. Meracuni fitrah anak-anak yang masih hijau. Merusak mental generasi yang telah dewasa. Tak ada kelebihan, kecuali keuntungan finansial bagi penyelenggaranya semata. Sudah semestinya Dewan Pers menyetop tayangan tersebut!
Dulu, Sekarang, Besok pun Tetap Haram!
Bagi seorang Muslim sudah jelas tayangan infotainmen termasuk barang haram. Dalam khazanah Muslim ghibah adalah terlarang sejak zaman dulu, hukum ini terus berlaku hingga kini, bahkan sampai dunia berakhir. Fatwa NU sekadar mewakili kegerahan kita yang tidak setuju infotainmen. Toh tayangan infotainmen tersebut bukan dalam koridor darurat yang “membolehkan” ghibah. Bukan dalam kerangka hukum, pengenalan atau mencari fatwa nasihat, misalnya.
Sang Pencipta alam semesta telah memberikan peringatan keras kepada manusia agar menjauhi ghibah, firman-Nya;
“Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat : 12)
Biar tidak saling berdebat tentang definisi ghibah atau gunjingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, dengan sabdanya.
“Berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; ‘Tahukah kalian apa ghibah itu?’ Berkata para sahabat; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Berkata beliau; ‘Kamu menceritakan tentang saudaramu sesuatu yang tidak disenanginya.’ Ada yang berkata, ‘Bagaimana kalau sesuatu itu benar adanya?’ Jawab Rasulullah; ‘Jika kenyataan, berarti kamu telah melakukan ghibah, jika tidak nyata berarti kamu melakukan buhtan (kabar bohong).’”2
Dengan demikian sebenarnya sudah tidak tersedia ruang yang aman untuk melakukan ghibah, walaupun di kotak bernama televisi. Justru lewat televisi sepotong ghibah menjadi semakin luas dampaknya. Bukan sekadar dosa gunjingan tetapi plus dosa mengajari orang lain berbuat kejelekan. Kalau begitu pantaskah kita kaum Muslimin tetap menyaksikannya?
Catatan Kaki:
1. ^ Organisasi yang mengumpulkan berbagai aliran tarekat sufi, salah satu cirinya (adalah mereka) berlebihan dalam menghormati kyainya. (Namun) dalam fatwa tentang hal ini (mereka) bersesuaian dengan syariat Islam (walhamdulillah).
2. ^ Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa as-Shilah wa al- Adab (2589).
Setelah sebelumnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk SMS kuis, NU1 mengeluarkan fatwa haram tentang infotainmen. Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU memutuskan untuk mengharamkan segmen infotainmen. Pro-kontra pun menyeruak.
Dewan Pers merespon positif putusan tersebut. “Penyiaran infotainmen yang menayangkan sajian utama tentang perselingkuhan tanpa dasar, gosip, gunjingan, dan promosi kumpul kebo itu jelas bertentangan dengan UU Pers dan kode etik wartawan,” kata anggota Dewan Pers, Leo Batubara.
Senada dengan Leo Batubara, Ade Armando, ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta media lebih menegakkan etika jurnalistik dalam pemberitaannya. Sayangnya, dia menilai, pihak infotainer (penyelenggara acara infotainmen) justru lebih berkiblat kepada dunia barat. Di negara-negara liberal tersebut banyak sumber dapat dijadikan bahan gosip. “Yang disampaikan ke publik itu terdapat efek, tidak saja kepada penonton, tetapi juga terhadap sumber berita itu sendiri,” katanya.
Sementara sebagian pihak menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan tersebut. Fatwa ulama-ulama NU yang mengharamkan tayangan infotainmen dinilai seorang rektor sebuah lembaga pendidikan tinggi agama di Jakarta justru tidak efektif. “Yang terpenting dalam hal ini bukanlah fatwa, tapi edukasi kepada publik,” kata pria yang dekat dengan JIL ini.
Penilaian rektor tersebut jelas telah mengesampingkan sebuah konsep pendidikan terpadu. Dalam konsep Islam larangan dan hukuman termasuk bagian dari proses pendidikan, tidak bisa dipisahkan dari himbauan dan perintah. Bagaimana bisa mencetak generasi yang berkualitas, jika anak dididik akhlak 10 jam sehari sementara dimentahkan kembali oleh acara sampah dalam waktu 1 jam. Bukankah hujan sehari mampu menghapus panas setahun? Atau memang ada konspirasi barat dan putra didiknya untuk menghancurkan generasi muda Indonesia?!
Kontroversi Tak Mesti Ditoleransi
Penilaian terhadap tayangan infotainmen mungkin menimbulkan kontroversi. Namun perlu diingat menyikapi perbedaan pendapat tersebut bukan seperti perbedaan (ikhtilaf tanawu’) yang terjadi di kalangan ulama. Ulama yang menyandarkan pada pemahaman para sahabat tidaklah didasarkan hanya pada kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Tidak seperti ungkapan sebagian orang yang tidak terdidik agamanya. “Nyatanya, kalau dilihat dari polling acara yang banyak ditonton itu infotainmen, jadi jangan membatasi kesenangan rakyat,” ungkap sebagian orang.
Bagi orang yang tidak mengerti agama, dalam menentukan boleh-tidaknya suatu hal hanya berdasar pada nilai kepentingan. Apa yang disenangi rakyat berarti boleh. Kalau masyarakat hobinya melakukan perzinaan?! Wal’iyyadzubillah. Motivasi kepentingan memang sering menghilangkan akal sehat.
Termasuk dalam menilai tayangan infotainmen. Infotainmen tak lebih sekadar kemasan indah untuk membungkus hobi gosip. Tidak salah kiranya jika nama yang lebih pas adalahghibahtainmen. Faktanya hampir 100% muatan acara infotainmen tak lebih dari pengungkapan isu miring. Bahkan sudah masuk dalam kategori buhtan dan fitnah, karena sebagian bermuatan berita isapan jempol.
Pelajaran apa yang bisa didapat dari berita sampah semacam itu? Pendidikan macam apa yang dihasilkan dari ungkapan-ungkapan kosong penuh fitnah semacam itu?! Semuanya tak lebih dari sekadar pembodohan terhadap masyarakat. Meracuni fitrah anak-anak yang masih hijau. Merusak mental generasi yang telah dewasa. Tak ada kelebihan, kecuali keuntungan finansial bagi penyelenggaranya semata. Sudah semestinya Dewan Pers menyetop tayangan tersebut!
Dulu, Sekarang, Besok pun Tetap Haram!
Bagi seorang Muslim sudah jelas tayangan infotainmen termasuk barang haram. Dalam khazanah Muslim ghibah adalah terlarang sejak zaman dulu, hukum ini terus berlaku hingga kini, bahkan sampai dunia berakhir. Fatwa NU sekadar mewakili kegerahan kita yang tidak setuju infotainmen. Toh tayangan infotainmen tersebut bukan dalam koridor darurat yang “membolehkan” ghibah. Bukan dalam kerangka hukum, pengenalan atau mencari fatwa nasihat, misalnya.
Sang Pencipta alam semesta telah memberikan peringatan keras kepada manusia agar menjauhi ghibah, firman-Nya;
“Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hujurat : 12)
Biar tidak saling berdebat tentang definisi ghibah atau gunjingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, dengan sabdanya.
“Berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; ‘Tahukah kalian apa ghibah itu?’ Berkata para sahabat; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Berkata beliau; ‘Kamu menceritakan tentang saudaramu sesuatu yang tidak disenanginya.’ Ada yang berkata, ‘Bagaimana kalau sesuatu itu benar adanya?’ Jawab Rasulullah; ‘Jika kenyataan, berarti kamu telah melakukan ghibah, jika tidak nyata berarti kamu melakukan buhtan (kabar bohong).’”2
Dengan demikian sebenarnya sudah tidak tersedia ruang yang aman untuk melakukan ghibah, walaupun di kotak bernama televisi. Justru lewat televisi sepotong ghibah menjadi semakin luas dampaknya. Bukan sekadar dosa gunjingan tetapi plus dosa mengajari orang lain berbuat kejelekan. Kalau begitu pantaskah kita kaum Muslimin tetap menyaksikannya?
Catatan Kaki:
1. ^ Organisasi yang mengumpulkan berbagai aliran tarekat sufi, salah satu cirinya (adalah mereka) berlebihan dalam menghormati kyainya. (Namun) dalam fatwa tentang hal ini (mereka) bersesuaian dengan syariat Islam (walhamdulillah).
2. ^ Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa as-Shilah wa al- Adab (2589).
No comments:
Post a Comment